waktu nikah di 2015, gue dan istri sudah saling kenal selama 7 tahun
kita kenalan 2008, pertama jadian 2008, sempet putus nyambung, lost contact, sampai akhirnya nikah
kenal selama itu, gue kira udah mengenal calon istri gue waktu itu "7 tahun, kurang tahu apa lagi sih?'
waktu baru kenal dan pacaran, Dia orangnya pendiem, kayaknya kalem gitu, tipe2 yg gak akan pernah bisa marah deh
siapa yang gak mengidam-idamkan coba? tapi setelah menikah, beda cerita
jadi meski kalian kenal bertahun-tahun sama pasangan, pas nikah SANGAT MUNGKIN semua berbeda
sebelum menikah, kita tanpa sadar belajar soal hidup berumah tangga dengan melihat orang terdekat kita, yg paling dekat: orang tua
bayangan paling standar
"enak ya nanti kalau udah nikah, pulang kerja ada yang nyambut, sayang-sayangin."
cewek juga mungkin punya bayangan sendiri
memang harapan yang paling bisa bikin kita terbang tinggi dan paling bisa buat kita jatuh lebih sakit lagi
punya harapan sebelum menikah
tapi pas udah nikah, harapan juga yang jadi 'orang ketiga'
kadang bikin kita gak bisa menerima pasangan seperti semestinya
ahun-tahun pertama pernikahan dihiasi dengan banyak konflik
"kok gak seindah yang di film-film ya?"
pertikaian yang disebabkan tidak bisa mengerti pasangan, dan kita menuntut pasangan untuk mengerti kita bahkan kita untuk mengerti diri sendiri saja belum bisa
benar kata orang, jodoh itu bukan dicari
tapi dijebak
waktu kenal dan pacaran, the best part of us yang ditunjukkan tapi saat sudah menikah, the real us perlahan terlihat
cinta didapat dengan perhatian, dirawat dengan pendapatan dan pengorbanan
belum selesai mengelola konflik diri sendiri dan konflik dengan pasangan, kami alhamdulillah dikaruniai anak kembar
J dan K
langsung 2 anak, dan membesarkan tanpa pengasuh (atas kesepakatan bersama)
kebayang kan ngurus anak 1 aja gimana, ini langsung 2
di sela-sela kelelahan mengasuh 2 anak, waktu pulang kerja jadi sensitif banget
gue orangnya cukup males ngomong tapi setiap pulang diwajibkan untuk cerita
kalau gue ketiduran, bisa jadi ribut besar gak peduli perjalanan gue ke tempat kerja sebalik aja 3 jam
hal paling menyiksa adalah kita gak diperkenankan untuk sharing ke mana pun ketika ada masalah
semua masalah ditelan dan dihadapi berdua
ini pun gue cerita karena udah izin dan semoga bisa jadi pelajaran
semua pertanyaan berputar di kepala
"kenapa sih dia begini?"
"kenapa sih dia begitu?"
"kenapa tidak seindah itu?"
sampai suatu hari gue gak sengaja dengar bapak-bapak tua bicara di telepon, sepertinya sedang menasihati anaknya
"bagi pria, ketika memutuskan untuk berkeluarga, artinya dia sudah memutuskan bahwa hidup ini bukan lagi tentang dirinya," katanya
*deg*
selama ini gue menuntut untuk terpenuhinya kebutuhan gue
"kenapa sih dia..." "kenapa sih dia..."
bukannya bertanya "kenapa sih gue..."
gue duduk terdiam. terpaku bersandar ke kaca jendela bus.
terlempar memori-memori saat indahnya ijab kabul.
gue telah lupa bahwa ijab kabul itu sakral. ada hal yang sangat dalam terjadi:
saat ijab kabul, suami mengambil tanggung jawab ayah sang istri
itu hal besar
sebelumnya:
Dia menggantungkan hidup, hati, dan kebahagiaannya kepada ayahnya
sekarang:
ia menggantungkan semuanya pada gue, suaminya
suami macam apa yang mementingkan kepentingannya sendiri?!
dari situ gue sadar
Dia selalu marah saat gue meminta bangun siang/tidur siang saat weekend
karena
momen bersama ayahnya meski untuk sekadar membetulkan selang mampet begitu berharga
Dia ingin anak-anak juga punya momen Sabtu dan Minggu bersama ayah, yang membekas dalam ingatan
Dia selalu cemburu ketika gue terlalu sibuk dengan kerjaan, hobi
akhirnya gue selalu melibatkan mengajak istri dan anak-anak saat gue melakukan hobi,
atau seringnya, anak-anak yang bersenang-senang, ayah bundanya nemenin
percayalah, saat punya anak,
waktu terasa begitu cepat
ngelihat foto yang baru berlalu 2 tahun aja rasanya pengen mewek
merasa masih kurang banget memberikan perhatian waktu ke istri dan anak-anak
sekarang tau-tau udah pada gadis aja 😢
gue gak mau tua nanti gue menyesal
Dia juga selalu marah saat gue terlalu cuek dengan keadaan sekitar
selalu nuntut gue untuk supel dan buka obrolan dengan orang-orang, siapa pun itu, atasan, satpam, tukang nasi goreng
dan gue pernah dapet rejeki tak terduga dari 'berusaha supel' ini
sama halnya seperti Peter Parker yang digadang-gadang jadi 'The Next Iron Man', istri juga punya harapan yang besar terhadap suaminya
gak peduli seorang suami dan ayah sudah siap atau belum
ketika kamu berkeluarga, kamu DIANGGAP SUDAH siap
the pressure is there
karena sebagai suami dan ayah, adalah harapan terbesar keluara, istri pasti menuntut banyak hal agar sang kepala keluarga bisa berwibawa, jadi panutan
dan ketahuilah, GAK AKAN PERNAH ADA istri yang mau suaminya jelek
suami juga harus seperti itu ke istrinya,
kenapa?
istri akan
cantik terus
senyum terus
nenangin dan hangatin keluarga terus
kalau
dibahagiain terus
dan gak ada sedekah yang lebih afdol dibanding menafkahi dan membahagiakan istri
dan akhirnya gue sadar, kenapa pernikahan gue dan Dia gak selalu manis, tapi banyak pahit-pahitnya
karena gue sadar dalam pribadi gue masih banyak penyakit
dan seperti pahitnya obat, semoga konflik yang pernah terjadi bisa mengobati
mendewasakan
Dia butuh orang yang mau dengerin segala protesnya dia (karena dia ternyata orangnya tukang protes wkwk)
dan gue ternyata butuh orang yang punya keberanian buat 'ngebenerin' gue, karena selama ini gak pernah ada yang berani/mungkin gak enak aja
makasih ya, kamu
Thread by : @daraprayoga
kita kenalan 2008, pertama jadian 2008, sempet putus nyambung, lost contact, sampai akhirnya nikah
kenal selama itu, gue kira udah mengenal calon istri gue waktu itu "7 tahun, kurang tahu apa lagi sih?'
waktu baru kenal dan pacaran, Dia orangnya pendiem, kayaknya kalem gitu, tipe2 yg gak akan pernah bisa marah deh
siapa yang gak mengidam-idamkan coba? tapi setelah menikah, beda cerita
jadi meski kalian kenal bertahun-tahun sama pasangan, pas nikah SANGAT MUNGKIN semua berbeda
sebelum menikah, kita tanpa sadar belajar soal hidup berumah tangga dengan melihat orang terdekat kita, yg paling dekat: orang tua
bayangan paling standar
"enak ya nanti kalau udah nikah, pulang kerja ada yang nyambut, sayang-sayangin."
cewek juga mungkin punya bayangan sendiri
memang harapan yang paling bisa bikin kita terbang tinggi dan paling bisa buat kita jatuh lebih sakit lagi
punya harapan sebelum menikah
tapi pas udah nikah, harapan juga yang jadi 'orang ketiga'
kadang bikin kita gak bisa menerima pasangan seperti semestinya
ahun-tahun pertama pernikahan dihiasi dengan banyak konflik
"kok gak seindah yang di film-film ya?"
pertikaian yang disebabkan tidak bisa mengerti pasangan, dan kita menuntut pasangan untuk mengerti kita bahkan kita untuk mengerti diri sendiri saja belum bisa
benar kata orang, jodoh itu bukan dicari
tapi dijebak
waktu kenal dan pacaran, the best part of us yang ditunjukkan tapi saat sudah menikah, the real us perlahan terlihat
cinta didapat dengan perhatian, dirawat dengan pendapatan dan pengorbanan
belum selesai mengelola konflik diri sendiri dan konflik dengan pasangan, kami alhamdulillah dikaruniai anak kembar
J dan K
langsung 2 anak, dan membesarkan tanpa pengasuh (atas kesepakatan bersama)
kebayang kan ngurus anak 1 aja gimana, ini langsung 2
di sela-sela kelelahan mengasuh 2 anak, waktu pulang kerja jadi sensitif banget
gue orangnya cukup males ngomong tapi setiap pulang diwajibkan untuk cerita
kalau gue ketiduran, bisa jadi ribut besar gak peduli perjalanan gue ke tempat kerja sebalik aja 3 jam
hal paling menyiksa adalah kita gak diperkenankan untuk sharing ke mana pun ketika ada masalah
semua masalah ditelan dan dihadapi berdua
ini pun gue cerita karena udah izin dan semoga bisa jadi pelajaran
semua pertanyaan berputar di kepala
"kenapa sih dia begini?"
"kenapa sih dia begitu?"
"kenapa tidak seindah itu?"
sampai suatu hari gue gak sengaja dengar bapak-bapak tua bicara di telepon, sepertinya sedang menasihati anaknya
"bagi pria, ketika memutuskan untuk berkeluarga, artinya dia sudah memutuskan bahwa hidup ini bukan lagi tentang dirinya," katanya
*deg*
selama ini gue menuntut untuk terpenuhinya kebutuhan gue
"kenapa sih dia..." "kenapa sih dia..."
bukannya bertanya "kenapa sih gue..."
gue duduk terdiam. terpaku bersandar ke kaca jendela bus.
terlempar memori-memori saat indahnya ijab kabul.
gue telah lupa bahwa ijab kabul itu sakral. ada hal yang sangat dalam terjadi:
saat ijab kabul, suami mengambil tanggung jawab ayah sang istri
itu hal besar
sebelumnya:
Dia menggantungkan hidup, hati, dan kebahagiaannya kepada ayahnya
sekarang:
ia menggantungkan semuanya pada gue, suaminya
suami macam apa yang mementingkan kepentingannya sendiri?!
dari situ gue sadar
Dia selalu marah saat gue meminta bangun siang/tidur siang saat weekend
karena
momen bersama ayahnya meski untuk sekadar membetulkan selang mampet begitu berharga
Dia ingin anak-anak juga punya momen Sabtu dan Minggu bersama ayah, yang membekas dalam ingatan
Dia selalu cemburu ketika gue terlalu sibuk dengan kerjaan, hobi
akhirnya gue selalu melibatkan mengajak istri dan anak-anak saat gue melakukan hobi,
atau seringnya, anak-anak yang bersenang-senang, ayah bundanya nemenin
percayalah, saat punya anak,
waktu terasa begitu cepat
ngelihat foto yang baru berlalu 2 tahun aja rasanya pengen mewek
merasa masih kurang banget memberikan perhatian waktu ke istri dan anak-anak
sekarang tau-tau udah pada gadis aja 😢
gue gak mau tua nanti gue menyesal
Dia juga selalu marah saat gue terlalu cuek dengan keadaan sekitar
selalu nuntut gue untuk supel dan buka obrolan dengan orang-orang, siapa pun itu, atasan, satpam, tukang nasi goreng
dan gue pernah dapet rejeki tak terduga dari 'berusaha supel' ini
sama halnya seperti Peter Parker yang digadang-gadang jadi 'The Next Iron Man', istri juga punya harapan yang besar terhadap suaminya
gak peduli seorang suami dan ayah sudah siap atau belum
ketika kamu berkeluarga, kamu DIANGGAP SUDAH siap
the pressure is there
karena sebagai suami dan ayah, adalah harapan terbesar keluara, istri pasti menuntut banyak hal agar sang kepala keluarga bisa berwibawa, jadi panutan
dan ketahuilah, GAK AKAN PERNAH ADA istri yang mau suaminya jelek
suami juga harus seperti itu ke istrinya,
kenapa?
istri akan
cantik terus
senyum terus
nenangin dan hangatin keluarga terus
kalau
dibahagiain terus
dan gak ada sedekah yang lebih afdol dibanding menafkahi dan membahagiakan istri
dan akhirnya gue sadar, kenapa pernikahan gue dan Dia gak selalu manis, tapi banyak pahit-pahitnya
karena gue sadar dalam pribadi gue masih banyak penyakit
dan seperti pahitnya obat, semoga konflik yang pernah terjadi bisa mengobati
mendewasakan
Dia butuh orang yang mau dengerin segala protesnya dia (karena dia ternyata orangnya tukang protes wkwk)
dan gue ternyata butuh orang yang punya keberanian buat 'ngebenerin' gue, karena selama ini gak pernah ada yang berani/mungkin gak enak aja
makasih ya, kamu
Thread by : @daraprayoga
Comments
Post a Comment