Tan Malaka part Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

 Penggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat mengetahui proklamasi. Semboyan yang membakar semangat dan mengilhami rapat Akbar di Lapangan Ikada.


Ia memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Husein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh; B.M. Diah ; Anwar  dan Harsono Tjokroaminoto. kamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.

Memakai baju kaos, celana pendek hitam dan topi perkebunan ditenteng di tangan tamu itu disambut dan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Husein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik hal itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.

Ulasan Husein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau pikiran Husein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Soekarni. Setelah mendengar analisis Husein Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.

Sejarah mencatat, Husein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Soekarni curiga, tak mungkin tamunya hanya orang biasa meski ia tak berani bertanya. "Ia heran, Bagaimana mungkin seorang sekaliber Husein hidup di wilayah terpencil", kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.

Karni malah was-was. "Ia takut kalau Husein mata-mata Jepang", kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan dapat ke rumah Maruto  Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama - sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta temannya menginap satu Malam. Hujan tidur di kamar belakang.

Pada saat rapat, analisis Husein mempengaruhi pikiran Sukarni. ide-ide Husein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda". Kata Adam Malik.  Para pemuda setuju.

Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. "Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong pro klamasi," kata Anwar Bey.

Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.

Dari pertemuan itu,Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum be rani membuka jati diri. "Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat," katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.

Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.


HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945.

Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaos lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.

Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi,Hussein menyatakan pendapatnya. "Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda," katanya.

Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung sing kat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Sukarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.

Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken-Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.

Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. "Kita bukan kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah." Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.

Pidato itu dilukiskan Poeze dalam bukunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolusi, 1945-1949, "Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan pro klamasi itu," kata Hussein di ujung pidatonya.

Bila Sukarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: "Saya sanggup menan datanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya."

Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.


SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak ke sampaian


Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Ka rena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul. Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.

Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.

Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti se belumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.

Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. "Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan," kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.

Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. "Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda," kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.

Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar ka bar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia. Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik

Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan ka rena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pe muda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia me neken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.

Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Sukarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita prokla masi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan ti dak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai mem bicarakannya di jalan-jalan.

Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas kon sep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pe gangan politik tokoh pergerakan, termasuk Sukarno.

Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai "kepedihan riwayat". Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Husein sesungguhnya. "Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata" kata Adam Malik.

Comments

PERHATIAN

Terima Jasa Pembuatan Peta SHP untuk Perizinan Berusaha OSS | MOHON DUKUNG KAMI DENGAN KLIK IKLAN